Banda Aceh – Pada dasarnya korupsi pada sumber daya alam memiliki modus yang sama dengan korupsi pada umumnya. Di antara adalah gratifikasi, penyuapan, kronisme, atau benturan kepentingan. Korupsi SDA ini bisa dilakukan mulai dari tataran terendah level daerah hingga nasional.
Di tataran elite, sumber daya alam sebuah daerah sangatlah rawan diperjualbelikan antara penguasa dan swasta. Salah satu bentuk korupsi SDA adalah suap untuk memudahkan pemberian izin penggarapan lahan atau gratifikasi untuk mendapatkan hak istimewa. Korporasi yang memiliki pengaruh berkat suap atau gratifikasi ini juga berhasil mendorong pembuat kebijakan menghasilkan peraturan yang memihak mereka.
“Kabupaten Aceh Selatan akhir-akhir ini dihebohkan dengan rencana pembukaan pabrik semen, sementara disisi lain kode KBLI untuk pembangunan pabrik semen sedang dikenai oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) karena kelebihan pasokan (over supply). Namun disisi lain Pemerintah Kabupaten memberikan karpet merah rekomendasi untuk melakukan eksplorasi kepada PT Karbexindo Cement, Konsersium Hongsi Holding Grup. Rekomendasi itu ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi Aceh khabarnya dengan mengeluarkan izin eksplorasi batuan gamping,” ungkap koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA), Minggu 2 Juni 2024.
Bahkan, kata Irman, sebagai bentuk komitmen Pemkab memberikan karpet merah kepada perusahaan dan sebaliknya dilakukan penandatanganan MoU. Sementara secara aturan perundang-undangan tidak pernah ada yang namanya MoU dalam hal yang bersifat sebatas eksplorasi semata. “Sampai detik ini masyarakat tidak tau apa isi real dari nota kesepakatan (MoU) antara Pemkab Aceh Selatan dan Perusahan asal China itu. Apakah ada poin yang berpotensi merugikan rakyat dan daerah, masyarakat sampai saat ini tidak tau. Yang ada selalu di iming-imingi tentang lapangan kerja, peningkatan ekonomi dan seterusnya,” ujarnya.
Disamping itu, lanjut Irman, jika berkaca kepada beberapa perusahaan lainnya yang berlokasi di Aceh Selatan sebelumnya juga mengiming-imingi persoalan yang sama, namun secara realita masyarakat tak lebih hanya sebagai korban belaka.
“Katakan saja PT BMU yang berkonflik dengan masyarakat setempat karena izinnya bijih besi, sementara yang diambil saat itu ternyata emas, kemudian limbahnya yang dibuang sangat berbahaya bagi masyarakat. Kemudian PT PSU bahkan hingga beberapa hari yang lalu dikhabarkan belum mengantongi dokumen analisis dampak lingkungan (amdal) yang asli bahkan bermodalkan dokumen copyan itu justru Pemerintah memuluskan proses rekomendasi hingga perizinannya, belum lagi jika dilihat dari dampak lingkungan(amdal) dari perusahaan yang kini telah beroperasi di Aceh Selatan. Tentunya ini ada sesuatu,”katanya.
Kendatipun pabrik semen belum bisa didirikan dan tahapan eksploitasi berikutnya izinnya masih seputaran batu gamping, maka tentunya perlu dilakukan pengecekan apakah benar-benar hanya sebatas batu gamping atau ada mineral logam lainnya. Karena untuk pabrik semen untuk perizinan berusaha melalui Online Single Submmission(OSS) hingga izin lingkungan masih terkunci lantaran moratorium. “Persoalan perizinan dan realita lapangan yang tidak sesuai bisa menjadi pintu masuk permainan pengusaha dan penguasa, dalam hal ini potensi korupsi juga rawan terjadi. Apalagi khususnya di Aceh Selatan dalam hal perizinan ini memang ada yang janggal, misalnya ada yang belum kantongi dokumen amdal asli boleh urus izin berikutnya, izin yang diperoleh bijih besi sementara yang ditambang itu emas atau memberikan rekomendasi untuk invertor china dimasa moratorium pabrik semen dengan izin ekploitasi batu gamping,” ujarnya.
GerPALA juga meminta Kejagung dan KPK untuk menelusuri kemungkinan adanya indikasi korupsi SDA dalam proses perizinan perusahaan yang ada di Aceh Selatan, baik itu perusahaan yang sudah beroperasi atau wacana pendirian pabrik semen oleh investor China yang diberi karpet merah disaat moratorium pabrik semen sedang dilakukan. “Apakah ada terjadi praktek grativikasi dalam perizinannya yang hingga menghasilkan kebijakan yang berpotensi merugikan masyarakat dan negara? Tentu KPK dan Kejagung hendaknya turun langsung mengusut kemungkinan adanya indikasi korupsi SDA di Aceh Selatan tersebut. Bukannya kita tidak percaya dengan APH yang ada di daerah, namun untuk menghindari tumpang tindih kepentingan dan transparansi dalam proses pengusutan kita berharap langsung dilakukan oleh Kejagung ataupun KPK. Apalagi belajar berbagai kasus korupsi SDA yang pernah terjadi di Indonesia, proses transaksional dalam perizinan merupakan pintu masuk bagi investor dalam mengendalikan kebijakan penguasa yang pada akhirnya akan berdampak kepada kerugian negara,” tambahnya.
Dia juga mempertanyakan izin yang dimiliki oleh beberapa perusahaan yang beroperasi di Kluet Tengah selama ini. “Kita mendapatkan info yang sangat akurat bahwa setiap minggunya emas yang didapat itu mencapai 1,2-1,5 Kg minimal, artinya dalam 1 bulan ada sekitar 5-6 kg emas. Bayangkan sudah berapa tahun dan sudah berapa banyak kerugian daerah, namun pemerintah daerah seakan tutup mata begitu saja, APH di daerah dan DPRK memang bungkam seribu bahasa. Sementara izin perusahaannya bijih besi yang didapat juga emas, tapi dibiarkan. Makanya kita menduga ada permainan antara pengusaha dan penguasa yang perlu dibongkar oleh institusi penegak hukum baik itu Kejagung maupun KPK RI,”pungkasnya.(Ril)